Rabu, 29 Agustus 2012

Nasruddin Hoja dan Cincin di Rumah Gelap Gulita

Rabu, 29 Agustus 2012, 12:34 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahruddin El-Fikri

Suatu hari Nasruddin Hoja, sang sufi yang humoris, kehilangan cincin di dalam rumahnya yang gelap gulita. Anehnya, ia justru mencari cincinnya di halaman rumah, bukan di dalam rumahnya.

Bahkan, tetangganya pun turut serta membantu mencari cincin Nasruddin. Namun, saat dikatakan bahwa cincinnya hilang di dalam rumah, tetangganya jengkel dan meninggalkan Nasruddin sendirian. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita, bahwa jika kehilangan suatu barang, maka carilah ia di tempat hilangnya, jangan mencari di tempat lain.

Tapi, kisah yang terkesan konyol itu tentu memiliki makna lain. Melalui kisah di atas, Nasruddin tampaknya ingin mengajarkan kepada kita makna berbeda di balik alasannya mencari cincin yang hilang itu di luar rumahnya. Dan, makna itu relevan pada masa kini.

Pertama, berapa banyak dari kita yang begitu bangga mencari idola atau tokoh panutan di luar rumah kita sen diri, di luar agama Islam? Kita seakan bangga ketika mengenal nama Karl Marx (tokoh komunis), Adolf Hitler (Nazi), Neil Armstrong (manusia pertama yang menjejakkan kaki di Bulan), dan Sigmund Freud (filosof). Atau, bahkan sejumah selebritas dunia seperti Ma riah Carey, Michael Jackson, Whitney Houston, dan Lady Gaga. Begitu pula dengan olahragawan top dunia lainnya.

Tapi, kita tidak pernah bangga dengan pemimpin umat ini, Nabi Muhammad SAW, teladan yang paling baik, dan khulafaur rasyidin seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, juga Ali bin Abi Thalib. Begitu pula dengan tokoh Muslim lainnya semacam Al-Biruni (tokoh astronomi), Ibnu Sina (kedokteran), al-Jabbar (matematika), Ibnu Rusyd (filosof), dan al-Khawarizmi.

Kedua, tentang rumah Nasruddin yang gelap gulita dan ia justru mencari cincinnya yang hilang itu di luar rumahnya. Ini bisa memberi pelajaran kepada kita bahwa rumah kita sesungguhnya sama dengan rumah Nasruddin, gelap gulita tanpa ada pelita atau cahaya (penerangan) sedikit pun.

Gelap gulita itu bukan semata-mata karena tidak ada lampu, tapi rumah kita gelap karena kita sendiri tak pernah mau meneranginya dengan cahaya ilahi. Kita berada dalam kegelapan karena kita disibukkan dengan urusan materi. Kita tak menerangi rumah kita dengan lantunan kalam ilahi atau shalat di dalamnya. Akibatnya rumah kita gelap gulita seperti kuburan.

Kita disibukkan dengan gadgetse perti ponsel, Blackberry, atau Ipad yang menjadi kebanggaan kita. Bahkan, hampir setiap hari kita bersentuhan dengan ponsel, tapi tak pernah menyentuh Alquran. Padahal, kalam ilahi merupakan cara kita berkomunikasi dengan Sang Pencipta Alam Semesta ini.

Rasulullah SAW sudah mengingatkan kita, “Hiasilah rumahmu dengan shalat dan (lantunan) Alquran.” (HR Bukhari). Dalam riwayat lain disebut kan, “Hiasilah rumahmu dengan shalat dan membaca Alquran, jangan jadikan ia seperti kuburan.”

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Nasruddin Hoja di atas, dengan menjadikan pemimpin umat (Rasulullah SAW) dan para tokoh Muslim sebagai teladan terbaik bagi kita. Selain itu, kita juga perlu memperbanyak cahaya penerangan rumah kita dengan membaca dan menadaburi Alquran. Wallahu a’lam.


Redaktur: Heri Ruslan


Sumber :
Republika Online - http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/08/29/m9i4u8-nasruddin-hoja-dan-cincin-di-rumah-gelap-gulita

Jumat, 24 Agustus 2012

Pelajaran Ali bin Abi Thalib Kepada 3 Pendeta Yahudi

Minggu, 12/08/2012 12:09 WIB

Musriani Adam - detikRamadan

Jakarta - Dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah, "Hai Khalifah Umar, Anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada Anda. Jika Anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi."

"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.

Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian berkata, "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!"

Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"

Ali bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"

Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib berkata, "Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"

"Ya baik!" jawab mereka.

"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali.

Mereka mulai bertanya, "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"

"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat Allah!"

Para pendeta Yahudi bertanya lagi, "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"

Ali menjawab, "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut, "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"

"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali. "Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!"

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"

Ali lalu menjawab, "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, 'Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"

Ali menjawab, "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."

Setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Ali ra, dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu lalu mengatakan, "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"



*Dikutip dari kitab 'Qishasul Anbiya' yang tercantum dalam kitab 'Fadhailul Khamsah Minas Shihahis Sittah', tulisan Sayyid Murtadha Al-Huseiniy Al-Faruz Aabaad


(rmd/rmd)


Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/12/120939/1989392/630/pelajaran-ali-bin-abi-thalib-kepada-3-pendeta-yahudi

Rabi'ah Al-Adawiah, Antara Air Mata & Spiritualitas Cinta kepada Allah

Jumat, 24/08/2012 13:30 WIB

Rina Yuliana - detikRamadan

Jakarta - Ia seorang wanita sufi yang dikenal sebagai ahli ibadah dan kebijaksanaan di masanya. Dalam tubuhnya mengalir darah keturunan dari sahabat Nabi saw, Ali bin Abi Thalib. Ia bernama lengkap Rabi'ah binti Ismail bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abi Thalib. Ia senantiasa dimintai fatwa dari beberapa ulama-ulama sufi di masanya. Rasa ketakutannya kepada Allah telah menjadikannya sebagai seorang wanita yang senantiasa menangis. Seperti saat ia mendengar seorang laki-laki membaca ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan neraka di hadapannya, ia langsung berteriak dan tersungkur karena rasa ketakutannya terhadap api neraka.

Ia senantiasa melakukan salat malam secara penuh. Ketika fajar mulai menjelang, ia tidur sebentar di tempat salatnya hingga pagi tiba.

Pada suatu waktu, datang seorang laki-laki memberikan uang sebanyak 40 dinar kepadanya. Ia berkata kepada Rabi'ah, "gunakanlah uang ini untuk keperluan-keperluanmu".

Mendengar perkataan itu, Rabi'ah Adawiyah menangis. Ia menengadahkan mukanya ke langit, seraya berkata, "Tuhan telah mengetahui, bahwa aku malu meminta barang-barang duniawi kepada-Nya, padahal ia lah yang memiliki dunia ini. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku akan meminta duniawi kepada orang yang sebenarnya tidak memiliki dunia itu?".

Air matanya selalu bercucuran di saat mengingat hari kematian. Ia laksana disambar petir di saat teringat hari kematian itu. Bahkan ia selalu merasa kaget dan merasa ketakutan sekali di saat terjaga dari tidurnya. Ia seraya berkata, "wahai jiwaku!, berapa lama engkau tertidur dan berapa lama pula engkau dalam keadaan terjaga? Aku benar-benar merasa ketakutan di saat engkau (jiwa) tertidur dan tidak bangun lagi, sehingga yang ada di hadapanmu hanyalah hari kebangkitan".

Salah satu kata bijak darinya adalah: "sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekanmu". Ia berkata: "wahai Tuhanku, ampunilah penyelewenganku selama ini, ampunilah aku!".

Ia meninggal dunia di Baitul Maqdis tahun 135 H pada usia lebih dari 80 tahun. Ia dikafankan di dalam jubahnya sendiri yang berasal dari anyaman rambut, dan tutup dari kain bulu yang senantiasa ia gunakan pada saat salat malam. Ini semua adalah karena wasiat yang ia berikan kepada pembantunya agar ia dikafankan semacam itu. Ia juga berwasiat agar ia dimakamkan di Baitul Maqdis.

Tidaklah benar yang mengatakan jika perkataan, "aku tidak menyembah-Mu lantaran mengharapkan surga-Mu dan takut atas neraka-Mu, melainkan hanya karena kecintaanku kepada-Mu" adalah berasal dari perkataan Rabi'ah Adawiyah. Dan sangat tidak benar pula, jika tasawuf Rabi'ah Adawiyah identik dengan nilai-nilai yang dianggap sesat dalam dunia sufi. Misalnya, kerinduan kepada Tuhan, Fana' (peleburan diri seorang hamba dengan tuhannya), persaksian langsung terhadap Tuhan, dan lain sebagainya.



Sumber: Buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah karya Syaikh Muhammad Sa'id Mursi

(rmd/rmd)


Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/24/133005/1998019/630/rabiah-al-adawiah-antara-air-mata-spiritualitas-cinta-kepada-allah?r992202625

Minggu, 05 Agustus 2012

Abu Nawas dan Dua Orang Ibu

Sabtu, 04/08/2012 09:15 WIB

Siti Ariyanti - detikRamadan

Jakarta - Seorang bayi mungil diperebutkan dua perempuan yang sama-sama mengaku sebagai ibu kandungnya. Berhari-hari kasus itu tak kunjung selesai hingga sang hakim pun bingung. Akhirnya hakim meminta pertolongan Raja Harun Al Rasyid untuk menyelesaikan masalah itu. Sayangnya, usaha Raja Harun tidak membuahkan hasil, tapi justru membuat kedua perempuan itu mati-matian mengakui bayi itu sebagai anaknya.

Akhirnya Raja Harun memanggil si cerdik Abu Nawas untuk menggantikan hakim. Ketika datang di pengadilan Abu Nawas tidak mengambil keputusan di hari itu juga, melainkan menunggu keesokan harinya.

Hari berikutnya sidang dilanjutkan kembali. Semua hadirin sidang yakin Abu Nawas pasti dapat menyelesaikan kasus itu. Namun semua tercengang ketika Abu Nawas memerintahkan algojo untuk membelah bayi itu dengan pedang. Dua perempuan itu juga serempak bertanya, apa yang akan Abu Nawas lakukan terhadap bayi itu.

Abu Nawas berkata, “Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?”

“Tidak, bayi itu adalah anakku,” kata kedua perempuan itu.

Dua perempuan itu belum ada yang bersedia mengalah sehingga terpaksa Abu Nawas memutuskan untuk membelah bayi itu menjadi dua. Sebagian untuk perempuan yang pertama, sebagian lain untuk perempuan kedua.

“Jangan, tolong jangan belah bayi itu. Biarlah, aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu,” perempuan kedua mengatakan dengan setengah berteriak.

Mendengar itu, Abu Nawas tersenyum lega. Dengan segera dia menyerahkan bayi itu kepada perempuan kedua. Menurut Abu Nawas, tidak ada satu orang pun ibu yang tega anaknya disembelih. Seorang ibu lebih memilih dirinya yang menderita dari pada anaknya.

(rmd/rmd)


Sumber :
Republika Online - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/04/091556/1983029/630/abu-nawas-dan-dua-orang-ibu?r991101625

Abu Nawas, Pendeta & Ahli Yoga Berebut Makanan

Minggu, 05/08/2012 13:26 WIB

Ramdhan Muhaimin - detikRamadan

Jakarta - Alkisah, ada seorang Ahli Yoga yang sangat membenci Abu Nawas, maka dengan segala cara dia memperdaya Abu Nawas ini hingga akhirnya mempunyai ide untuk mengajak seorang pendeta untuk bersekongkol. Setelah mencapai kata sepakat antara Pendeta dan Ahli Yoga, mereka berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya.

Ketika mereka datang, Abu Nawas sedang melakukan salat Dhuha. Setelah dipersilakan masuk oleh istrinya, mereka pun masuk dan menunggu sambil berbincang-bincang dengan santainya.

Seusai salat, Abu Nawas menemui mereka dan bercakap-cakap sejenak. "Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan, bergabunglah bersama kami," kata Ahli Yoga.

"Dengan senang hati. Lalu kapan rencananya?"tanya Abu Nawas dengan polos.

"Besok pagi," kata Pendeta.

"Baiklah kalau begitu, kita bertemu di warung teh besok pagi," kata Abu Nawas menyanggupi.

Agama Islam sangat menghormati pemeluk agama lain, karena Rasululullah SAW mengajarkan demikian. Pada hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi.

Ahli Yoga dan Pendeta mengenakan seragam keagamaan mereka masing-masing. Di tengah jalan, mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal. "Hai Abu Nawas, bagaimanakah kalau engkau saja yang mengumpulkan derma untuk membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian," kata Pendeta.

Tanpa banyak bicara lagi, Abu Nawas berangkat mencari dan mengumpulkan derma dari satu dusun ke dusun lainnya. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan secukupnya untuk mereka bertiga. Setelah itu Abu Nawas kembali lagi ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan. Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar, Abu Nawas berkata, "Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga."

"Jangan sekarang, kami sedang berpuasa," kata Ahli Yoga.

"Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja, sedangkan kalian ya terserah pada kalian," kata Abu Nawas.

"Aku tidak setuju, kita harus seirama dalam berbuat apapun," kata pendeta.

"Betul, aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan berbuka," kata Ahli Yoga.

"Hai, bukankah aku yang kalian jadikan alat pencari derma, dan derma itu sekarang telah aku tukarkan dengan makanan. Sekarang kalian malah tidak mengijinkan aku untuk mengambil bagianku sendiri, itu tidak masuk akal," kata Abu Nawas mulai merasa jengkel.

Namun begitu pendeta dan ahli yoga tetap bersikeras tidak mengijinkan Abu Nawas untuk mengambil bagian yang sudah menjadi haknya. Abu Nawas penasaran, ia mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagiannya. Tetapi mereka tetap saja menolak.

Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikitpun kejengkelan dan kemarahannya itu. "Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian," kata pendeta kepada Abu Nawas.

"Perjanjian apa?" tanya AbuNawas.

"Kita adakan lomba, barang siapa diantara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak, yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit," kata pendeta mejelaskan.

Abu Nawas setuju. Ia tidak memberi komentar apa-apa. Malam semakin larut, embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur karena perutnya lapar. Dia hanya pura-pura saja tidur untuk mengelabui kawannya.

Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah tertidur lelap, Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa pikir dua kali, Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tidak tersisa sedikit pun. Setelah kenyang, barulah Abu Nawas bisa tidur.

Keesokan harinya, mereka bangun hampir bersamaan. Ahli yoga dengan wajah yang berseri-seri bercerita,

"Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirwana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini."

Pendeta mengatakan bahwa mimpi ahli yoga benar-benar menakjubkan, benar-benar luar biasa. Kini giliran pendeta yang bercerita. "Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan ternyata memang benar. Aku tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam di mana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya."

Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi pendeta. Abu Nawas hanya diam. Ia bahkan tidak tertarik sedikitpun. Karena Abu Nawas belum buka mulut juga, Pendeta dan Ahli Yoga mulai menanyakan mimpi Abu Nawas. Akhirnya Abu Nawas mulai bercerita setelah didesak oleh kawan-kawannya.

"Kalian tentu tahu Nabi Daud as kan, Beliau adalah seorang Nabi yang ahli berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau dan beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari, kemudian beliau menyuruhku agar segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu," kata Abu Nawas tanpa punya perasaan salah sedikitpun.

Sambil menahan rasa lapar yang sangat, Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain. Kejengkelan Abu Nawas terobati sudah. Kini mereka berdua sadar bahwa mempermainkan Abu Nawas sama halnya dengan menyusahkan diri sendiri.


(rmd/rmd)


Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/05/132652/1983536/630/abu-nawas-pendeta-ahli-yoga-berebut-makanan?r991101625

Kamis, 02 Agustus 2012

Nasruddin dan Tiga Orang Bijak

Rabu, 01/08/2012 14:21 WIB

Abdul Rohim - detikRamadan

Jakarta - Pada suatu hari ada tiga orang bijak yang pergi berkeliling negeri untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mendesak. Sampailah mereka pada suatu hari di desa Nasrudin. Orang-orang desa ini menyodorkan Nasrudin sebagai wakil orang-orang yang bijak di desa masing-masing. Nasrudin dipaksa berhadapan dengan tiga orang bijak itu dan di sekeliling mereka berkumpullah orang-orang desa menonton mereka bicara.

Orang bijak pertama bertanya kepada Nasrudin, "Di mana sebenarnya pusat bumi ini?"

Nasrudin menjawab, "Tepat di bawah telapak kaki saya, saudara".

"Bagaimana bisa saudara buktikan hal itu?" tanya orang bijak pertama tadi.

"Kalau tidak percaya, ukur saja sendiri," cetus Nasruddin. Orang bijak yang pertama diam tak bisa
menjawab.

Tiba giliran orang bijak kedua mengajukan pertanyaan. "Berapa banyak jumlah bintang yang ada di langit?"

Nasrudin menjawab, "Bintang-bintang yang ada di langit itu jumlahnya sama dengan rambut yang tumbuh di keledai saya ini".

"Bagaimana saudara bisa membuktikan hal itu?"

Nasrudin menjawab, Nah, kalau tidak percaya, hitung saja rambut yang ada di keledai itu, dan nanti saudara akan tahu kebenarannya."

"Itu sih jawaban bodoh," tanya orang bijak kedua, "Bagaimana orang bisa menghitung bulu keledai."

Nasrudin pun menjawab, "Nah, kalau saya bodoh, kenapa Anda juga mengajukan pertanyaan itu, bagaimana orang bisa menghitung bintang di langit?" Mendengar jawaban itu, si bijak kedua itu pun tidak bisa melanjutkan.

Sekarang tampillah orang bijak ketiga yang katanya paling bijak di antara mereka. Ia agak terganggu oleh kecerdikan Nasrudin dan dengan ketus bertanya, "Tampaknya saudara tahu banyak mengenai keledai, tapi coba saudara katakan kepada saya berapa jumlah bulu yang ada pada ekor keledai itu."

"Saya tahu jumlahnya," jawab Nasrudin, "Jumlah bulu yang ada pada ekor kelesai saya ini sama dengan jumlah rambut di janggut Saudara".

"Bagaimana Anda bisa membuktikan hal itu?" tanyanya lagi. "Oh, kalau yang itu sih mudah. Begini, Saudara mencabut selembar bulu dari ekor keledai saya, dan kemudian saya mencabut sehelai rambut dari janggut saudara. Begitu sampai habis. Nah, kalau habisnya sama, maka apa yang saya katakan itu benar, tetapi kalau tidak, saya keliru."

Tentu saja orang bijak yang ketiga itu tidak mau menerima cara menghitung seperti itu. Dan orang-orang desa yang mengelilingi mereka itu semakin yakin Nasrudin adalah yang tercerdik.

(rmd/rmd)


Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/08/01/142137/1980434/630/nasruddin-dan-tiga-orang-bijak?r881107hikayat

Minggu, 29 Juli 2012

Keutamaan Umat Nabi Muhammad dalam Kitab Taurat

Minggu, 29/07/2012 09:07 WIB

Hasan Fauzi - detikRamadan

Jakarta - Ketika Nabi Musa ‘as bermunajat di Gunung Thursina untuk “bertemu” Allah swt, Nabi Musa as mengajukan beberapa permintaan terkait isi dalam lauh-lauh (Kitab Taurat) yang diterimanya.

Nabi Musa as berkata, “Ya Tuhanku, aku melihat di lauh-lauh itu disebutkan suatu umat yang menjadi umat terbaik yang pernah terlahir ke dunia, mereka menyuruh sesamanya untuk berbuat kebaikan dan mencegah sesamanya berbuat kemungkaran. Ya Tuhanku, jadikanlah mereka itu sebagai umatku.”
Allah swt menjawab, “Itu adalah umat Muhammad.”

Nabi Musa as berkata lagi, “Ya Tuhanku, aku melihat di lauh-lauh itu disebutkan suatu umat yang menjadi umat terakhir yang diciptakan namun mereka adalah umat yang paling dahulu masuk surga. Ya Tuhanku, jadikanlah mereka itu sebagai umatku.”
Allah swt menjawab, “Itu adalah umat Muhammad.”

Nabi Musa as berkata lagi, “Ya Tuhanku, aku melihat di lauh-lauh itu disebutkan suatu umat yang memiliki anak-anak yang sudah dapat menghapal kitab suci mereka, sedangkan umat-umat sebelum itu membaca kitab suci mereka dengan melihat. Apabila kitab itu disingkirkan, mereka tidak dapat membacanya dan tidak mengetahuinya. Engkau juga memberikan mereka daya hafal yang tinggi yang tidak diberikan pada umat-umat lainnya. Ya Tuhanku, jadikanlah mereka itu sebagai umatku.”
Allah swt menjawab, “Itu adalah umat Muhammad.”

Nabi Musa as berkata lagi, “Ya Tuhanku, aku melihat di lauh-lauh itu disebutkan suatu umat yang beriman pada kitab suci yang pertama kali diturunkan hingga kitab suci yang terakhir diturunkan, mereka senantiasa memerangi kesesatan, bahkan mereka juga memerangi makhluk paling pendusta yang bermata satu (Dajjal). Ya Tuhanku, jadikanlah mereka itu sebagai umatku.”
Allah swt menjawab, “Itu adalah umat Muhammad.”

Nabi Musa as berkata lagi, “Ya Tuhanku, aku melihat di lauh-lauh itu disebutkan suatu umat yang dapat memakan hasil dari zakat yang dikeluarkan oleh sesama mereka, namun tetap diberi ganjaran yang berlipat-lipat. Engkau mewajibkan zakat itu pada orang-orang kaya di antara mereka dan menyalurkannya pada orang-orang miskin. Sementara ketika umat-umat lain berzakat, jika diterima maka zakat itu akan dimakan api, dan jika ditolak maka zakat itu akan dimakan hewan buas dan burung-burung. Ya Tuhanku, jadikanlah mereka itu sebagai umatku.”
Allah swt menjawab, “Itu adalah umat Muhammad.”

Nabi Musa as berkata lagi, “Ya Tuhanku, aku melihat di lauh-lauh itu disebutkan suatu umat yang ketika berniat untuk berbuat baik namun mereka tidak melaksanakan niat tersebut, maka akan tertulis satu kebaikan. Dan jika mereka melaksanakan niat tersebut, maka akan tertulis bagi mereka 10 hingga 700 kali lipat. Ya Tuhanku, jadikanlah mereka itu sebagai umatku.”
Allah swt menjawab, “Itu adalah umat Muhammad.”

Nabi Musa as berkata lagi, “Ya Tuhanku, aku melihat di lauh-lauh itu disebutkan suatu umat yang dapat memberikan syafaat sekaligus menerima syafaat. Ya Tuhanku, jadikanlah mereka itu sebagai umatku.”
Allah swt menjawab, “Itu adalah umat Muhammad.”

Setelah mendegar semua itu, Nabi Musa as melemparkan lauh-lauh yang dipegangnya sembari berkata, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku salah satu umat Muhammad.”

Wallaahu a'lam..


*Dari berbagai sumber

(rmd/rmd)


Sumber :
Detik.com - http://ramadan.detik.com/read/2012/07/29/090730/1977527/630/keutamaan-umat-nabi-muhammad-dalam-kitab-taurat

Translate